Pages

Thursday, November 7, 2019

Tarif Impor AS-China Setuju Diberangus, Pasar Saham Bisa Cuss

Jakarta, CNBC Indonesia - Roda terus berputar, seperti halnya yang terjadi di pasar keuangan global kemarin. Pada perdagangan kemarin, (7/11/19), pasar keuangan dunia sempat bolak-balik dari sebelumnya dibuai prospek damai dari damai dagang Amerika Serikat (AS)-China, terkoreksi, dan kemudian menguat lagi.

Tak ada hujan tak ada badai, di tengah kemesraan yang terjalin sejak akhir September, Beijing tidak menyetujui lokasi pertemuan yang sejatinya digelar di tanah Negeri Paman Sam. Tidak hanya itu, tetiba China juga meminta agar tarif impor tambahan yang sudah dikenakan pada barang-barangnya September lalu, dibatalkan.


Inisiatif dan permintaan tersebut ternyata berdampak besar. Pelaku pasar keuangan ragu terhadap realisasi pertemuan kedua negara yang diprediksi terjadi sebelum akhir tahun, sehingga penundaan mimpi damai dagang pun sudah terbayang di depan mata dan sukses memantik kekhawatiran.


Di dalam negeri, sentimen negatif itu ada tambahannya. Sentimen negatif dari data penjualan ritel yang 2 hari lalu diumumkan ternyata masih berbekas, ditambah kekhawatiran terhadap permintaan Presiden Joko Widodo terhadap penyesuaian turun suku bunga perbankan terhadap suku bunga acuan Bank Indonesia yakni 7 days reverse repo rate (7DRRR) yang sudah lebih dulu turun.

Wajar memang permintaan tersebut. Bank sentral sudah tidak tanggung-tanggung menggunakan senjata moneternya tersebut empat kali dalam 4 bulan berturut-turut, tepatnya pada rapat dewan gubernur (RDG) Juli, Agustus, September, dan Oktober.

Suku bunga acuan Tanah Air sudah turun dari 6% di awal tahun menjadi 5,75% pada Juli, 5,5% pada Agustus, 5,25% pada September, dan 5% pada Oktober.

Sementara suku bunga bank sentral diturunkan, pelaku industri perbankan masih serius berkompetisi menghimpun simpanan dari publik di tengah likuiditas yang mulai seret dengan penyebab utamanya adalah kekhawatiran terjadap perang dagang AS-China di luaran sana.


Guna memenangkan persaingan memungut likuiditas dari publik secara instan, tentu dapat dilakukan dengan menjaga suku bunga kreditnya di level yang sama, atau bahkan ada yang masih offside dengan menaikkan bunga kreditnya dan bunga simpanannya, meskipun tipis-tipis.

Kondisi itulah yang membuat pemerintah gerah terhadap potensi yang bisa datang dari geliat ekonomi tertunda karena perbankan belum juga. Dalam pidatonya Rabu (6/11/19), Presiden Joko Widodo menginginkan penurunan suku bunga mulai dilakukan.

"BI rate [7DRRR] sudah turun, bank-nya belum. Ini saya tunggu. Tepuk tangan berarti setuju. Ok saya catat lagi," ujar presiden pada sambutan pembukaan Indonesia Banking Expo 2019.

Hasilnya, ditambah 'basian' atau sisa-sisa sentimen negatif dari angka penjualan ritel yang kurang memuaskan serta dari global, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dikeroyok tanpa ampun oleh sentimen negatif hingga menjadi indeks utama negara Asia yang paling nyusrug.

IHSG, yang masih saja kondang dengan nama lama Indeks Komposite Jakarta (JCI) di kuping investor global, sempat amblas 1,58% kemarin. Penderitaan portofolio itu pun kemudian berakhir dengan koreksi yang tersisa 51 poin atau setara 0,84% pada penutupan pasar.

Investor asing pun membukukan aksi jual bersih di pasar reguler Rp 1,21 triliun, tertinggi sejak 6 Agustus, hingga menggenapi aksi jual bersih sejak awal tahun di pasar reguler saham mencapai Rp 20,38 triliun. Dari 28 hari perdagangan sejak Oktober, investor dengan label foreigner sudah mencatatkan 21 hari jualan dibanding 7 hari yang membukukan aksi beli bersih reguler.

Hasilnya, tujuh indeks sektoral memerah kemarin, terutama sektor barang konsumsi sebagai indeks sektoral yang masih paling 'dihajar pasar' serta menjadi bulan-bulanan investor. Koreksi yang terjadi mencapai 1,71%, diikuti koreksi di sektor tambang, aneka industri, dan agribisnis.

Dua sektor lain yang masih selamat dari amuk masa kemarin adalah industri dasar dan properti-konstruksi.

Dengan tambahan sentimen negatif dari domestik tersebut, pasar saham di Indonesia yang sempat berusaha melawan di sesi dua ternyata masih tenggelam di zona merah ketika lonceng penutupan bursa berbunyi, terutama karena koreksi yang sudah terlalu dalam membuat IHSG tak mampu mengangkat indeks ke zona hijau.

Koreksi IHSG terjadi ketika mayoritas pasar saham Benua Kuning lain mulai terangkat di akhir sesi perdagangan masing-masing karena hadirnya kejutan dari kesepakatan dagang AS-China.

China mengabarkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan AS untuk menghapuskan bea masuk tambahan yang sudah dikenakan oleh masing-masing negara selama perang dagang berlangsung, kutip CNBC.com.

Kedua belah pihak dinyatakan telah setuju untuk secara bersama-sama menghapuskan bea masuk yang menyasar produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar tersebut, berdasarkan keterangan Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China.

Gao juga menambahkan bahwa kedua belah pihak kini diyakini semakin dekat untuk menandatangani kesepakatan dagang tahap satu, yang sudah digodok sampai lelah dalam 2 pekan terakhir. Alhasil, kekhawatiran yang sempat terjadi dan membuat indeks saham Asia utama memerah di awal perdagangan, terusir sudah.

Titik cerah tersebut, yang juga menandai bahwa gertakan China yang sempat membuat pasar keuangan gemetar, berhasil membuat AS berpikir dan akhirnya menyepakati poin tentang penghapusan tarif impor yang terlanjur berlaku tersebut.

[Gambas:Video CNBC]

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2CpADkU
via IFTTT

No comments:

Post a Comment