Ia mengaku tak berharap banyak dari tanamannya. Ia menyebutnya hanya untuk memanfaatkan lahan tidur. Setelah dibagi ke tetangga, sisanya, baru dijual. Lagipula, di musim kemarau, kebanyakan petani memang menganggur.
"Ya, untuk dikonsumsi sendiri. Kalau ada lebihnya ya syukur, mungkin bisa dijual," ucapnya.
Sepanjang mata memanjang, aliran Sungai Dermaji ditumbuhi beragam sayuran dari warga lainnya. Nun di hulu sungai, sekitar satu kiilometer Tosiyani bercocok tanam, Yati juga bertani di pinggiran sungai.
Bedanya, ia menanam kacang tanah sebagai komoditas utama. Ada pula mentimun, kacang panjang dan kacang tunggak.
Namun, khusus kacang tanah, nampaknya ia bertaruh dengan musim. Kini, kacang tanahnya baru berumur 1,5 bulan. Ini berarti baru bisa dipanen pada awal Oktober, atau setidaknya akhir September.
Padahal, Oktober disebut sebagai Mangsa Kapat, atau datangnya musim penghujan. Banjir mengancam tanamannya sewaktu-waktu. Tentu debit sungai akan kembali normal dan menenggelamkan tanaman yang memang berada di tengah aliran sungai dalam kondisi normal.
Ia hanya berharap, saat musim hujan tiba, tanamannya sudah cukup usia untuk dipanen. Berkah melimpah dari sungai kering pun akan dinikmatinya beserta keluarga.
"Moga-moga sudah rampung,"ucap Yati, berharap.
Barangkali sikap rendah hati yang ditunjukkan Tosiyah dan Yati ini berasal dari tempaan alam dan pengalaman berpuluh tahun menjadi petani. Bagi mereka, alam menyediakan kesempatan, manusia hanya sekadar berupaya memanfaatkan.
Di luar urusan teknis, kehendak manusia tak mesti berbanding lurus dengan mau alam semesta. Sisanya, petani, mesti berserah diri kepada Tuhan yang punya kuasa atas segalanya.
from Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2nRvhrk
No comments:
Post a Comment