Pages

Sunday, August 25, 2019

Jokowi Pindahkan Ibu Kota, 4 Ekonom Senior Ini Tak Setuju

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan mendapat tanggapan kritis dari kalangan akademisi. Beberapa di antaranya yakni Prof David Henley dari Leiden University, ekonom Didik Junaedi Rachbini, ekonom senior INDEF Fadhil Hasan, dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim.

Menurut David Henley yang fokus pada studi kontemporer tentang Indonesia, 

kebijakan pemindahan ibu kota di Indonesia belum saatnya dilakukan.

"Pemindahan Ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan belum perlu, sebab memindahkan ibu kota justru berpotensi melepaskan elite politik dari realitas sosial masyarakatnya," kata dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Mereka Keberatan Ibu Kota Dipindah, Emil Salim Salah Satunya Foto: Diskusi Publik "Tantangan Persoalan Ekonomi Sosial dan Pemerintahan Ibu Kota Baru" (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)

Di tempat yang sama, ekonom Didik Junaedi Rachbini termasuk sosok yang kontra menyoal Ibu Kota yang akan pindah ke Kalimantan. Ia mendorong agar pemerintah mengkaji ulang dan menyiapkannya secara matang.

"Pemindahan ibu kota ini program gagah-gagahan, begitu terfikir langsung diperintahkan, ini bukan Bandung Bondowoso, bangun ibu kota ini kan bukan seperti bangun kontrakan, kita nggak boleh mengelola negara seperti ini, ini harus dikritik, pantas dikritik," kata Didik.

Ia menegaskan pemerintah harus lebih sistematis menyampaikan rencana pemindahan ibu kota. Didik menilai kebijakan publik soal pemindahan ibu kota tidak dilakukan secara sistematis, sehingga ia menganggapnya masih mentah.

"Sekarang ketua MPR mulai bicara harus dipikir ulang, Ketua DPR bilang belum terima naskah akademisnya, Kemendagri bilang ini belum matang, urusan negara nggak boleh grasa-grusu," seru Didik.


Ia meyakini pemindahan Ibu Kota tidak akan berdampak pada pemerataan ekonomi di Kalimantan. Ia mengingatkan Presiden Jokowi sebaiknya mengkaji ulang pemindahan ibu kota sesuai ilmu kebijakan publik.

"Kita bukan tidak setuju tapi sebaiknya dikaji ulang," tegas Didik.


Jika ditelisik lebih jauh, Indonesia memang bukan menjadi negara pertama yang memindahkan ibu kota. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, ada sejumlah negara yang sudah terlebih dahulu memindahkan pusat pemerintahannya.

Mulai dari Rio de Janeiro ke Brasilia (Brasil), Dar es Salaam ke Dodoma (Tanzania), Karachi ke Islamabad (Pakistan), Lagos ke Abuja (Nigeria), Almaty ke Astana (Kazakhstan), hingga Kuala Lumpur ke Putra Jaya (Malaysia).

Namun, faktanya tidak semua pemindahan ibu kota berjalan mulus. Berdasarkan catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ada beberapa bukti konkret pemindahan ibu kota berakhir dengan kegagalan.

"Setidaknya kita bisa melihat ada empat kegagalan fungsi ibu kota negara," ungkap ekonom Ssenior INDEF Fadhil Hasan dalam sebuah diskusi, Jumat (24/8/2019).

Misalnya, seperti Putra Jaya, Malaysia. Fadhil mengutarakan, meskipun ibu kota sudah berpindah dari Kuala Lumpur, namun pegawai pemerintahan Malaysia justru tidak ikut berpindah ke Putra Jaya karena faktor keluarga. Secara jarak, Kuala Lumpur dan Putra Jaya berdekatan.

Selain itu, menurut Fadhil, pemindahan ibu kota Australia ke Canberra juga menjadi contoh konkret lainnya. Wilayah tersebut sambung, justru sepi dan tidak diminati oleh penduduk setempat untuk bermukim dalam jangka waktu lama.

"Pemindahan ibu kota Seoul ke Sejong sudah diputuskan sejak 2012, tapi sampai saat ini prosesnya masih belum selesai," kata Fadhil.

"Salah satu kendalanya adalah besarnya biaya pembangunan dan dinamika politik domestik, sehingga turut menghambat pembangunan ibu kota," jelasnya.

Mereka Keberatan Ibu Kota Dipindah, Emil Salim Salah Satunya Foto: Emil Salim (CNN Indonesia/Safir Makki)

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim menilai, upaya pemerintah yang membandingkan pemindahan ibu kota dengan negara lain salah kaprah.

"Kita ini negara kepulauan, ada 17.000 pulau, diapit dua samudera dan berada di pusat lalu lintas maritim. Di Brasil, kau bisa jalan kaki atau naik sepeda dari Rio ke Brasilia. Kau tidak bisa jalan kaki ke Kalimantan," katanya.

"Jadi jangan disamakan negara kita dengan ibu kota kontingen. Kita ini negara kepulauan. Mana logikanya," tegas Emil.

Emil lantas membeberkan alasannya menolak mentah-mentah rencana pemindahan Ibu Kota. Dia bilang, alasan-alasan pemerintah memindahkan Ibu Kota tidak masuk akal dan keliru.

Seperti diketahui, ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan pemerintah memindahkan Ibu Kota. Salah satunya, yaitu dari masalah-masalah yang terjadi di Ibu Kota seperti kemacetan hingga ancaman tenggelam.


"Logika saya, kalau [DKI Jakarta] rusak, harus diperbaiki. Tapi ini menjadi alasan untuk pindah. Jakarta macet, Jakarta terendam, rusak, harus pindah," tegasnya.

Emil memandang, keputusan pemerintah memindahkan Ibu Kota di tengah masalah yang menimpa Jakarta justru seperti lari dari tanggung jawab. Seharusnya, kata dia, pemerintah menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

"Saya merasa ini tidak bertanggung jawab. Sikap saya kalau [pemerintah] berencana, kalau tau ada persoalan, tau ada angin topan akan datang, tugas nya memecahkan soal, bukan lari dari persoalan," tegas Emil.


Anggaran jumbo pemindahan ibu kota di beberapa negara.

[Gambas:Video CNBC]
(tas/tas)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2MzhtA5
via IFTTT

No comments:

Post a Comment