Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri BUMN Erick Thohir dan dua wakilnya, Kartika Wirjoatmojo (Tiko), dan Budi Gunadi Sadikin (BGS), mendapatkan tugas berat dalam menangani Kementerian BUMN dalam 5 tahun ke depan atau hingga 2024. Sejumlah pekerjaan rumah masih menyelimuti sedikitnya 142 perusahaan BUMN di Tanah Air.
Ferdy Hasiman, peneliti Alpha Research Database Indonesia, menegaskan sejumlah persoalan di tubuh perusahaan BUMN masih menganga, mulai dari mengubah kompetensi dan budaya bisnis perusahaan milik negara, menciptakan good corporate governance (GCG) di BUMN, membendung laju korupsi di kementerian tersebut, hingga persoalan korporasi masing-masing BUMN.
Khusus untuk perusahaan BUMN, Ferdy menegaskan terdapat beberapa pekerjaan rumah (PR) yang menjadi sorotan.
Pertama, di BUMN banyak sekali dirut dan komisaris yang diutus dari partai politik (parpol) dan beberapa kelompok bisnis dengan berbagai kepentingan, sehingga membutuhkan seorang pemimpin yang berani agar tidak tersandera ego sektoral.
"Erick harus mampu mengubah budaya BUMN menjadi lebih kompetitif, mampu bersaing di pasar global dan beradaptasi dengan cara-cara berbisnis baru di jaman ekonomi digital yang tumbuh cepat sekarang ini," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (28/10/2019).
PR kedua, Erick, Budi, dan Kartika diharapkan bisa mengurus 142 perusahaan BUMN yang selama ini banyak mendapat injeksi modal negara (penyertaan modal negara/PMN), tapi kinerja sejumlah BUMN tersebut banyak yang tak beres.
"Banyak sekali perusahaan BUMN yang tak menghasilkan laba dan sanggup menjalankan Public Service Offering [PSO] sesuai UU BUMN". BUMN yang mencapai 142 perusahaan ini juga tidak bisa diandalkan menggenjot penerimaan negara," tegas Ferdy.
"Dari 142 BUMN, baru 13 BUMN yang mampu memberikan dividen bagi negara dan tahun 2019 hanya sebesar Rp 62 triliun. BUMN seharusnya bisa lebih besar lagi menghasilkan dividen agar bisa menambah penerimaan negara dan bisa mengurangi beban utang," terangnya.
Simak nasib BUMN di tangan Erick Thohir
[Gambas:Video CNBC]
Ketiga, tiga nahkoda baru BUMN dari kalangan professional ini diharapkan mampu memberikan perhatian serius untuk membenahi perusahaan-perusahaan BUMN yang masih bermasalah, seperti PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dan beberapa perusahaan BUMN lain.
Garuda sempat jadi sorotan publik karena menyajikan laporan keuangan tahun buku 2018 tak sesuai dengan standar akuntansi.
Sementara BUMN lain yakni PT Asuransi Jiwasraya juga tengah menghadapi masalah karena menunda pembayaran kewajiban polis jatuh tempo.
Foto: BGS Budi Gunadi Sadikin dan Kartiko Wiryoatmojo (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
|
Adapun KRAS didera kerugian selama 7 tahun berturut-turut, utang menggunung, isu PHK massal, hingga mundurnya komisaris independen belum lama ini. Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang KRAS mencapai US$ 2,49 miliar atau setara Rp 35 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar.
Selain itu, menurut Ferdy, trio profesional ini juga perlu mendorong PT Pertamina (Persero) agar mempercepat proses penyelesaian kilang minyak dan mendorong Pertamina berekspansi sampai ke luar negeri dalam rangka menaikkan produksi minyak nasional.
PR keempat yakni holding BUMN, gagasan yang pernah dilakukan menteri-menteri BUMN sebelumnya. Publik berharap agar Erick dan Wamen BUMN, segera merealisasikan holding perusahaan perkebunan milik negara, PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
"Belum ada satupun menteri BUMN yang sukses melakukan konsolidasi PTPN. Boleh jadi program itu stagnan karena resistensi para eksekutif di 14 BUMN perkebunan itu, karena takut kehilangan posisi. Bisa juga karena resistensi para politisi dan elit bisnis yang kerap mendapat untung dari pembelian bahan mentah dari PTPN," katanya.
Di atas kertas, holding BUMN Perkebunan resmi dilakukan pada Oktober 2014 oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan bersamaan dengan holding BUMN Kehutanan. Holding BUMN Perkebunan dibentuk dengan mengalihkan 90% kepemilikan saham negara di PTPN I, II, IV sampai PTPN XIV kepada PTPN III sebagai induk holding BUMN Perkebunan.
Menurut Ferdi, jika PTPN dikonsolidasi, Indonesia bisa berbangga karena memiliki perusahaan perkebunan kelas dunia dan bisa menciptakan perusahaan perkebunan sawit dan karet, terbesar dunia.
Mengapa disebut besar dan mampu bersaing di level dunia? "Jawabannya, dari 14 PTPN, total aset mereka jika digabung sebesar US$ 5,6 miliar [Rp 78 triliun] tahun buku 2012. Ukuran asetnya, tentu tak bisa diragukan. Jika ditotal 14 perusahaan, mereka mampu mengontrol luas lahan sebesar 1 juta hektare konsensi sawit dan karet," jelas Ferdi.
"Itu baru dari segi aset dan lahan, belum dihitung soal laba bersih," katanya lagi.
Dia menjelaskan, masih mengacu tahun buku 2012, jika ditotal laba bersih ke-14 PTPN mencapai US$ 400 juta (Rp 5,6 triliun) per tahun 2012. PTPN bukan hanya memproduksi sawit dan karet, tapi juga memproduksi gula, teh, kopi dan kakao.
"Itu artinya, PTPN menyentuh kehidupan rakyat kecil dan jika kinerjanya bagus, PTPN bisa menjadi pelayan rakyat yang sangat bagus ke depan."
Apabila konsolidasi ke-14 perusahaan berjalan, maka, PTPN III bisa dipertimbangkan menjadi operator. Total aset ke-14 PTPN mencapai US$ 5 miliar atau Rp 70 triliun. Konsolidasi PTPN penting, katanya, karena penggabungan aset akan mendobrak kinerja dan bisa jadi target yang dipasang pemerintah meningkatkan aset PTPN sampai tahun 2015 menjadi Rp 120 triliun, tercapai.
Hanya saja, tegasnya, tantangan besar bagi menteri BUMN dan dua wakil menteri adalah melanjutkan program holding yang sudah sukses dilakukan menteri BUMN sebelumnya.
(tas/sef)from CNBC Indonesia https://ift.tt/31XX9eN
via IFTTT
No comments:
Post a Comment