Pages

Tuesday, August 6, 2019

Manufaktur tak Bisa Diharapkan, Mesin Ekonomi Cuma Konsumsi?

Jakarta, CNBC IndonesiaIndustri pengolahan (manufaktur) di Indonesia masih sulit untuk bangkit. Celakanya, hal tersebut berdampak negatif pada perekonomian Indonesia secara umum.

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada sektor industri manufaktur terus melambat. Pada kuartal II-2019, angka pertumbuhannya hanya sebesar 3,54% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka pertumbuhan tersebut merupakan yang paling kecil sejak kuartal II-2017 (dua tahun lalu) dan sudah melambat tiga kuartal berturut-turut.

Alhasil, porsi industri manufaktur RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal II-2019 tinggal 19,52% yang artinya masih melanjutkan tren pelemahan.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, kinerja manufaktur Indonesia juga merupakan yang paling buruk. Dalam hal ini, Tim Riset CNBC Indonesia membandingkan dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Sepanjang periode 2014-2018, porsi industri manufaktur RI telah berkurang sebesar 1,21 persen poin dari 21,07% menjadi 19,86%. Di Malaysia dan Thailand, porsi manufaktur dalam PDB juga turun dalam periode yang sama, namun dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing sebesar 0,92 dan 0,82 persen poin.

Sementara Vietnam, negara dengan populasi 94 juta jiwa mampu menggenjot manufaktur sehingga porsi dalam PDB 2,83 persen poin dari 13,18% menjadi 16,02%.

Jadi, dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, porsi industri manufaktur RI dalam PDB lebih kecil. Tidak hanya lebih kecil, penurunannya merupakan yang paling besar.

Dibandingkan dengan Vietnam, memang porsinya masih lebih besar. Namun Vietnam sedang bertumbuh, sedangkan RI makin tersungkur. Jika tren terus berlanjut, bukan tidak mungkin Vietnam akan menyusul suatu saat nanti.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap komoditas barang mentah semakin meningkat. Gairah badan usaha untuk mengolah komoditas menjadi produk bernilai tambah tampaknya masih lesu. Yah, kalau bisa untung dengan jualan 'tanah', kenapa harus bangun 'rumah'?

Kinerja Ekspor Makin Terancam
Buruknya kinerja industri manufaktur Tanah Air bukan tanpa dampak negatif. Salah satu yang paling kentara adalah kinerja ekspor Indonesia yang semakin terpuruk.

Berdasarkan catatan BPS, sepanjang enam bulan pertama tahun 2019 (Januari-Juni) angka pertumbuhan nilai ekspor RI selalu terkontraksi alias minus secara tahunan. Terakhir, pada bulan Juni angka kontraksinya sebesar 8,98% YoY. Bahkan jika ditarik lebih ke belakang, sudah delapan bulan berturut-turut nilai ekspor bulanan Indonesia terkontraksi.

Sejauh ini, alasan perlambatan ekonomi global selalu dikaitkan dengan kinerja ekspor yang buruk.

Memang harus diakui bahwa faktor eksternal punya pengaruh terhadap perdagangan internasional. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang telah berkecamuk sejak 2018 pun turut berperan dalam menekan kinerja ekspor Tanah Air.

Akan tetapi yang menjadi kambing hitam ternyata bukan hanya perlambatan ekonomi global dan perang dagang saja. Ada faktor lain yang berasal dari dalam negeri.

Ya manufaktur itu tadi.

Dibanding Thailand dan Malaysia, yang mana porsi manufakturnya sama-sama turun, kontraksi ekspor Indonesia merupakan yang paling dalam. Bahkan Malaysia masih mampu membukukan pertumbuhan ekspor dalam 2 bulan, yaitu di bulan April dan Mei.

Sementara itu Vietnam, sang negara dengan pertumbuhan porsi manufaktur dalam PDB, berhasil mencatat pertumbuhan ekspor yang gemilang. Hanya pada bulan Januari saja ekspor Vietnam terkontraksi. Sisanya, tumbuh dan semakin pesat. Teranyar, pada bulan Juni 2019, pertumbuhan ekspor Vietnam mencapai 8,5%. Bagai bumi dan langit dengan Indonesia.

Mari Belajar dari Vietnam
Sebagai informasi, sudah sejak tahun 2015 nilai ekspor Vietnam 'membalap' Indonesia. Perkembangan industri manufaktur yang mumpuni membuat Vietnam dapat melakukan itu.

Lihat saja komoditas ekspor utama Vietnam. Berdasarkan data dari International Trade Centre (ITC), dua komoditas ekspor utama Vietnam adalah golongan barang HS 85 (Mesin/Peralatan Listrik) dan HS 64 (Alas Kaki).

Bahkan nilai ekspor Vietnam untuk golongan HS 85, yang notabene merupakan mesin-mesin yang memiliki nilai tambah cukup tinggi, mencapai US$ 117,2 miliar atau 40% dari total ekspor di tahun yang sama.

Indonesia punya cerita lain. Data BPS mencatat dua komoditas ekspor utama Indonesia adalah golongan barang HS 27 (Bahan Bakar Mineral) dan HS 15 (Lemak dan Minyak Hewan/Nabati).

Perlu diketahui bahwa sebagian besar barang HS 27 Indonesia adalah batu bara, sementara HS 15 adalah minyak kelapa sawit. Bila ditotal, nilai ekspor kedua barang tersebut mencapai US$ 44 miliar atau hampir 30% dari total ekspor di tahun 2018.

Dari perbandingan-perbandingan tersebut bisa dilihat bahwa kinerja ekspor negara yang memiliki kekuatan manufaktur yang mumpuni akan lebih tahan terhadap gejolak eksternal.

Hal itu disebabkan oleh harga barang-barang manufaktur yang relatif stabil karena punya nilai keunggulan kompetitif.

Sementara untuk barang mentah, harga dasar komoditas akan sangat dipengaruhi faktor permintaan dan pasokan global. Perlambatan ekonomi global akan sangat mempengaruhi permintaan dan pada akhirnya menekan harga komoditas.

Itulah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Harga komoditas berjatuhan akibat perlambatan ekonomi global yang dibarengi dengan peningkatan produksi.

Parahnya, tren pelemahan harga komoditas terlihat masih terus berlanjut. Contohnya harga batu bara acuan Newcastle dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang sudah melemah masing-masing sebesar 32% dan 8% sepanjang semester I-2019.

Jadi Sekarang Apa Motor Pertumbuhan Ekonomi RI?
Mungkin sebagian orang berpikir bahwa wajar apabila Indonesia meninggalkan sektor manufaktur untuk menggenjot sektor lainnya.

Dalam kondisi penuh keterbatasan, kita memang perlu untuk menentukan prioritas pengembangan ekonomi.

Namun kinerja sektor pariwisata, yang digadang-gadang bisa menopang perekonomian RI juga nyatanya masih kalah dari negara-negara lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Mandiri dalam publikasi EconMark edisi Desember 2018, disebutkan bahwa porsi sektor pariwisata dalam PDB Indonesia hanya 1,4% di tahun 2017 dan merupakan yang paling kecil diantara negara-negara ASEAN.

Secara nominal, pendapatan sektor pariwisata RI juga kurang bisa dibanggakan. Pasalnya, pada periode tersebut nilainya hanya US$ 13,7 miliar. Sementara Thailand, Malaysia, dan Singapura bisa meraup pendapatan pariwisata masing-masing sebesar US$ 51,1 miliar, US$ 20,8 miliar, dan US$ 19,5 miliar.

Negara sekecil Singapura, dengan luas tak lebih dari Jakarta, mampu mendatangkan pendapatan pariwisata yang lebih besar dari Indonesia. Potensi pariwisata Nusantara yang melimpah pada kenyataannya belum bisa mendatangkan keuntungan yang sepadan.

Fakta-fakta tersebut membuat motor pertumbuhan ekonomi RI menjadi tanda tanya besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(taa/dru)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2YrfaFH
via IFTTT

No comments:

Post a Comment