Pages

Sunday, August 25, 2019

Sudah Ada Tol Laut, Disparitas Harga Pangan Kok Masih Tinggi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Tol Laut merupakan salah satu wajah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tujuannya adalah untuk membuat ongkos logistik menjadi lebih efisien demi membuat disparitas harga-harga komoditas, seperti pangan dan bahan bangunan menjadi lebih kecil.

Pada tahun 2016 ada 6 trayek Tol Laut yang sudah aktif dengan total pelabuhan yang dilalui sebanyak 31. Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah menambah trayek menjadi 13 dan jumlah pelabuhan yang dilalui menjadi 41.

Teranyar per Oktober 2019, sudah ada 18 trayek yang aktif.

Bentuk dari program ini adalah subsidi. Pemerintah menggelontorkan dana untuk menyediakan kapal-kapal berbiaya murah untuk pengangkutan orang dan barang.

Sebagai contoh, yang biasanya mengirim satu kontainer seharga Rp 15 juta, dengan menggunakan kapal subsidi bisa hanya tinggal Rp 8 juta. Kapal-kapal tersebut juga memiliki trayek dan jadwal yang tetap. Sehingga mau berapapun isinya, kapal tetap berangkat.

Sebenarnya di sebagian jalur-jalur distribusi yang dilalui oleh kapal Tol Laut juga sudah ada operator kapal swasta yang melayani pengantaran orang atau barang. Namun untuk beberapa daerah , frekuensinya amat jarang dan terkadang tidak terjadwal sehingga sering menghambat proses distribusi. Ujung-ujungnya harga konsumen menjadi mahal.

Nilai subsidi yang diberikan pada pada periode 2016-2018 ada di kisaran Rp 300-400 miliaran. Pada tahun 2018 tepatnya sebesar Rp 447,6 miliar.

Sementara pada tahun 2019 subsidi tol laut dipangkas separuhnya menjadi tinggal Rp 222 miliar.

Lantas, sudahkah tujuan tol laut ini tercapai? Apakah perbedaan harga-harga komoditas antara daerah di Indonesia sudah berhasil dihilangkan, atau setidaknya diperkecil?

Dalam hal ini, Tim Riset CNBC Indonesia mengujinya dengan harga komoditas pangan.

Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, pada tahun 2016 harga rata-rata nasional untuk komoditas beras ada di posisi Rp 11.258/kg. Sementara pada tahun 2018, harga beras rata-rata nasional sebesar Rp 11.796.

Untuk komoditas beras, disparitas harga memang relatif kecil. Perbedaan harga paling besar hanya sebesar Rp 2.018/kg, yaitu antara harga di Jakarta dengan rata-rata nasional tahun 2018.

Sumber: PIHPS Nasional, diolah

Selain itu juga tidak terdapat perbedaan nilai disparitas antara tahun 2016 dan tahun 2018. Urusan beras, harga memang cukup bisa ditahan.

Akan tetapi lain cerita dengan beberapa komoditas lain.

Daging Ayam misalnya. Di tahun 2016, harga rata-rata nasional daging ayam sebesar Rp 32.817/kg. Pada tahun yang sama, harga di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai Rp Rp 37.350/kg. Sementara di Papua sebesar Rp 37.425/kg.

Artinya untuk daging ayam, ada perbedaan harga sebesar Rp 4.500-an antara Kupang dan Papua terhadap rata-rata nasional. Lebih mahal.

Nah anehnya, pada tahun 2018, perbedaan harga ini meningkat. Harga daging ayam nasional saat itu sebesar Rp 35.096/kg. Sementara di Kupang dan Papua masing-masing sebesar Rp 47.921/kg dan Rp 41.158/kg.

Sumber: PIHPS Nasional, diolah

Bila dihitung, harga di Kupang lebih mahal Rp 12.825/kg dibanding rata-rata nasional. Sedangkan di Papua lebih mahal Rp 6.063/kg. Kok jadi semakin lebih mahal dibanding tahun 2016?

Bahkan harga daging ayam di Maluku malah menjadi lebih mahal Rp 8.404/kg dibanding rata-rata nasional pada tahun 2018. Sebelumnya pada tahun 2016, perbedaan harganya hanya sebesar Rp 2.892/kg.

Sementara itu harga cabai rawit juga bernasib serupa. Namun ada pergerakan dua arah di harga cabai rawit.

Untuk kasus Jakarta, harga cabai rawit pada tahun 2016 lebih mahal Rp 5.925/kg dibanding dengan rata-rata nasional. Sementara pada tahun 2018, harga cabai rawit Jakarta hanya lebih tinggi Rp 1.417/kg dari rata-rata nasional. Ada ada penurunan.

Sumber: PIHPS Nasional, diolah

Namun berbeda ceritanya dengan di Maluku dan Papua. Sebab, harga cabai rawit di Papua pada tahun 2016 hanya sebesar Rp 52.192/kg yang artinya lebih tinggi Rp 11.392/kg dibanding rata-rata nasional. Perbedaan tersebut naik di tahun 2018 menjadi Rp 12.950/kg.

Adapun di Maluku, perbedaan harga cabai rawit dengan rata-rata nasional sebesar Rp 1.283/kg di tahun 2016 dan membengkak menjadi Rp 6.483/kg di tahun 2018.

Melihat data-data tersebut, artinya program Tol Laut yang digalakkan oleh Jokowi perlu ditinjau ulang. Setidaknya untuk urusan harga pangan. Sebab, masih terjadi perbedaan harga yang cukup tinggi antar daerah, terutama di Indonesia bagian Timur seperti Maluku dan Papua.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/320dAI4
via IFTTT

No comments:

Post a Comment