Oleh karena itu, dia mengaku tidak paham dengan tuntutan mahasiswa sehingga menggelar unjuk rasa di berbagai kota.
Menurut dia, walaupun DPR RI setuju menunda pengesahan revisi KUHP sebagaimana yang diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukan berarti ada persoalan substansial dalam pasal-pasal hasil revisi. Seperti yang disampaikan sejumlah elemen masyarakat dan para mahasiswa yang berunjuk rasa di berbagai daerah.
Penundaan, kata Fahri, lebih karena perlu komunikasi dan sosialisasi kepada publik secara lebih luas. Oleh karena itu, Presiden meminta penundaan, bukan pembatalan pengesahan revisi KUHP.
Khusus revisi UU KPK yang telah disahkan DPR RI pekan lalu, Fahri menilai akan terus ada upaya penolakan. Salah satu langkah adalah menekan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk memberlakukan kembali UU KPK yang lama.
"Jadi, yang berikutnya akan diserang adalah Presiden. Saya tahu permainan ini ya, saya tahu. Mereka akan lumpuhkan Presiden sampai mengeluarkan Perppu, mengesahkan kembali UU KPK lama," kata Fahri.
Soal perlunya Presiden menerbitkan Perppu antara lain disuarakan oleh Direktur Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari dan juga peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Agil Oktaryal.
Menurut Feri, penerbitan perppu pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 ketika UU Pemerintah Daerah dan UU Pemilihan Kepala Daerah mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Jokowi sudah menyampaikan penolakan untuk menerbitkan perppu setelah revisi UU KPK disetujui DPR RI pada Senin (23/9/2019).
"Nggak ada," kata eks Wali Kota Solo itu menjawab pertanyaan soal kemungkinan menerbitkan perppu mencabut UU KPK.
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2lw7HCM
via IFTTT
No comments:
Post a Comment