Pages

Sunday, October 6, 2019

Pilihan Sulit Jokowi: Tanpa Perppu KPK, Oligarki Kian Berjaya

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbagai pihak terus mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila langkah itu tidak diambil, maka dikhawatirkan oligarki bakal kian merajalela di Tanah Air.

Guru Besar UIN Azyumardi Azra menilai Jokowi harus segera menerbitkan Perppu KPK. Ia mengacu kepada survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia yang melaporkan sebanyak 76,3% publik setuju dengan hal tersebut. Menurut Azyumardi, situasi sekarang sudah masuk dalam syarat penerbitan perppu, yaitu kegentingan yang memaksa.

"Saya kira kemarin demo-demo sudah besar ya kan. Bahkan mahasiswa juga masih menggertak atau mengancam mau demo lagi kalau, misal, Presiden Jokowi nggak mengeluarkan perppu itu menjelang tanggal 14 Oktober," kata Azyumardi di Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu (6/10/2019), seperti dilansir detik.com.


"Demo-demo itu saya kira ini memang agak, agak lain yang perlu diperhatikan secara cermat oleh Presiden Jokowi. Karena kalau kita lihat demo yang kemarin itu demo yang terbesar selama pemerintahan Jokowi kan. Tidak hanya di Jakarta, hampir diseluruh kota di Indonesia," imbuh Azyumardi.

Ekonom senior yang juga pendiri INDEF Faisal Basri mengatakan Jokowi tidak memiliki pilihan lain kecuali mengeluarkan Perppu KPK. Jika tidak, maka pelemahan terhadap KPK semakin nyata.

"Tanpa perppu, oligarki kian berjaya, demokrasi ibarat tinggal ampas dan kebebasan sipil terancam," tulis Faisal dalam artikel di laman pribadinya berjudul 'Oligarki, Ketimpangan, dan Korupsi' seperti dikutip Senin (7/10/2019).

Ia menjelaskan, apabila KPK lemah, maka pengendalian terhadap praktik oligarki (penguasaan sumber daya di tangan segelintir orang atau kelompok) semakin sulit dikendalikan. Ketimpangan semakin buruk.

"Yang hadir adalah demokrasi prosedural yang diatur kaum oligarki itu. Undang-undang mengabdi kepada kekuasaan, kerap diubah sesuai dengan kesepakatan di antara mereka, seperti tercermin pada komposisi pimpinan MPR yang dibagi rata ke semua partai yang lolos ambang batas parlemen," tulis Faisal.

"Oligarki yang semakin kokoh dan percaya diri pada gilirannya akan menghadirkan rezim yang lebih represif. Penanganan terhadap demontrasi, termasuk demonstrasi mahasiswa, akan lebih keras. Kritik di media sosial dan ruang publik lainnya akan diperkarakan atau dikriminalisasi. Pendek kata, kebebasan akan cenderung ditekan."

Pada pengujung DPR RI 2014-2019, rapat paripurna sepakat mengesahkan revisi UU KPK. Langkah itu diikuti oleh aksi demonstrasi massa di berbagai daerah di Tanah Air. Sejumlah mahasiswa pun menjadi korban tewas dan luka-luka akibat bentrokan dengan aparat.

Merespons situasi itu, Jokowi lantas bertemu sejumlah tokoh bangsa pada pekan terakhir September 2019. Saat itu, Jokowi mengaku mempertimbangkan mengeluarkan Perppu KPK.

Sikap Jokowi disikapi berbeda oleh partai politik pengusungnya yang menilai langkah itu tidaklah tepat. Di sisi lain, mahasiswa mengancam akan kembali turun ke jalan dengan jumlah massa aksi yang lebih besar apabila Perppu KPK tidak dikeluarkan.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa Istana memang tidak pernah menutup diri bagi siapa saja yang ingin menyampaikan aspirasi. Namun, permintaan kalangan mahasiswa akan kembali dikalkulasi pemerintah.


"Terus juga kemarin saya pesan kepada mahasiswa, jangan pakai bahasa pokoknya lah. Kita itu memikirkan negara, persoalannya besar, semua harus dipikirkan," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10/2019).

"Karena keputusan itu seperti simalakama. Nggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati. Kan begitu. Cirinya memang begitu. Jadi memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak," lanjut mantan Panglima TNI tersebut.

[Gambas:Video CNBC]

(miq/miq)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/30VxdzX
via IFTTT

No comments:

Post a Comment