Pages

Thursday, July 18, 2019

Banyak Mobil Listrik Mejeng di GIIAS, Memang RI Sudah Siap?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebentar lagi Indonesia akan menyongsong era mobil listrik. Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), kembali menegaskan bahwa pemerintah akan mendukung perkembangan mobil listrik di Tanah Air. Pada pameran GIIAS 2019, banyak produsen menjajakan mobil listrik hingga hybrid, yang masih sebatas konsep atau sudah dijual, macam Toyota, Daihatsu, DFSK, BMW dan lainnya.

"Pemerintah dukung dari sisi regulasi, industri pendukung baja plat baja sudah diproduksi dalam negeri," ujar JK pada saat membuka pagelaran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) hari Kamis (18/7/2019).

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto juga mengatakan pemerintah sudah dalam tahap final dalam menyusun Rancangan Peraturan Presiden (RPP) tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dan Rancangan Peraturan Pemerintah.


"Dimana dalam RPP tersebut besaran tarif PPnBM yang saat ini dihitung berdasarkan kapasitas mesin akan ditambahkan parameter penghitungan baru yaitu konsumsi bahan bakar dan emisi CO2," kata Airlangga.

Bahkan Airlangga menargetkan produksi masal mobil listrik di Indonesia dapat dilakukan mulai tahun 2022. Tiga tahun lagi, yakin nih?

Apakah Bisa Tercapai?

Aplikasi teknologi baru pada ekosistem transportasi nasional memang bukan perkara mudah. Banyak tantangan yang harus dilalui. Bahkan seringkali memerlukan pengorbanan.

Dalam hal percepatan implementasi mobil listrik, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah.

Subsidi

Subsidi, menjadi hal yang paling diperlukan untuk mendorong pertumbuhan penggunaan mobil listrik, atau setidaknya insentif. Pasalnya, saat ini harga baterai untuk kendaraan listrik berada di kisaran US$ 200/Kwh, menurut Direktur Penelitian konsultan Wood Mackenzie, Sushant Gupta.

Sementara satu mobil listrik ukuran sedang (mobil penumpang biasa) rata-rata menggunakan kapasitas baterai 60 Kwh untuk menempuh jarak 250-300 mil. Dengan demikian, rata-rata harga baterai untuk satu mobil listrik mencapai US$ 12.000 atau setara dengan Rp 168 juta (asumsi kurs Rp 14.000/US$).

Dalam kondisi tersebut, harga mobil listrik akan lebih mahal sekitar 30-35% dibanding mobil konvensional apabila tidak disubsidi.

Subsidi sudah diberikan?

Memang benar, pemerintah sebelumnya telah memberi keringanan dalam bentuk insentif pajak, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa perusahaan yang akan menanamkan modal atau ekspansi usaha dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan (PPh) berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60%. Syaratnya, industrinya harus padat karya.

Selain itu, jika wajib pajak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development/RnD), bila diberikan pengurangan penghasilan bruto hingga 300%.

Sebenarnya hal itu bagus untuk perusahaan terkait mobil listrik, termasuk produsen baterai karena dapat menekan harga produksi yang berdampak pada harga jual.

Akan tetapi yang belum terjamah adalah subsidi bagi pengguna mobil listrik.

Berkaca pada negara-negara Eropa, pengguna mobil listrik mendapat insentif yang cukup besar dari pemerintah. Contoh paling kentara adalah di Norwegia, dimana pembeli mobil listrik tidak perlu membayar pajak pertambahan nilai (PPN).

Di Indonesia, PPN dipatok 10%. Kalau ditiadakan akan sangat besar dampaknya pada harga jual mobil. Selain itu pemilik mobil listrik di Norwegia bebas pajak registrasi. Di Indonesia, pajak registrasi mobil kelas menengah berada di kisaran 1 juta-an per tahun. Di China juga ada banyak insentif bagi pengguna mobil listrik, dan sebaliknya disinsentif untuk mobil non listrik.

Persiapan Infrastruktur

Selain mobilnya, hal penting lain yang juga diperlukan untuk mendorong penggunaan mobil listrik adalah infrastruktur pendukung, seperti pos pengisian energi.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini tempat pengisian daya listrik umum tidak banyak tersebar di Indonesia. Bahkan di Ibu Kota Jakarta saja bisa sangat minim.

Memang, sudah ada beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang telah memiliki fasilitas pengisian daya listrik. Namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan yang ada di Eropa. Berdasarkan data dari European Alternative Fuel Observatory, setidaknya ada 150.000 titik pengisian daya listrik yang tersebar di seluruh daratan Eropa.

Belanda tercatat sebagai pemilik titik pengisian terbanyak, yaitu sebesar 37.000 unit, disusul Jerman dengan jumlah 26.200 unit. Adapun Perancis dan Inggris memiliki titik pengisian masing-masing sebanyak 24.700 unit dan 18.200 unit.

Nah, kembali ke Indonesia, apakah sudah siap dengan segala hal tadi? jawabannya hanya kemauan dan aksi nyata dari pemerintah dan pelaku otomotif.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2O4mu56
via IFTTT

No comments:

Post a Comment