Pages

Tuesday, July 16, 2019

Hubungan AS-Iran Tak Jelas, Harga Minyak Bergerak Liar

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah anjlok lebih dari 3%, harga minyak mentah dunia berbalik arah menguat. Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran jadi katalis penguatan harga minyak.

Pada perdagangan hari Rabu (17/7/2019) pukul 08:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman September menguat 0,25% menjadi US$ 64,51/barel. Sedangkan harga light sweet (West Texas Intermediate/WTI) naik 0,12% ke level US$ 57,69/barel.

Adapun pada sesi perdagangan sehari sebelumnya (16/7/2019) harga Brent dan WTI ditutup anjlok masing-masing sebesar 3,2% dan 3,29%.

Kejatuhan harga minyak kemarin utamanya disebabkan oleh ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran yang mulai reda.

Presiden AS, Donald Trump, mengatakan ada banyak perkembangan positif yang telah dibuat dengan Iran, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (16/7/2019). Trump juga mengaku tidak mendesak Negeri Persia untuk perubahan rezim.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan bahwa Iran telah bersiap untuk melakukan negosiasi terkait program misilnya.

Ketegangan AS-Iran sudah terjadi sejak Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran pada 2015 silam. Kala itu AS tidak setuju terhadap program nuklir Iran yang masih terus berjalan.

Pelaku pasar sempat dibuat khawatir akan keberlangsungan produksi minyak di kawasan Timur Tengah lantaran beberapa waktu lalu AS dan Iran sempat bertukar komentar dengan nada-nada peperangan.

Iran juga berkali-kali dituding sebagai dalang dari beberapa penyerangan kapal tanker di perairan Selat Hormuz.

Namun seiring membaiknya hubungan AS-Iran, ekspektasi terhadap produksi minyak Timur Tengah kembali menguat.

Selain itu pada hari Senin (15/7/2019), aktivitas produksi di Teluk Meksiko yang sempat terhenti akibat badai 'Barry' sudah mulai pulih.

Badai yang terjadi pada akhir pekan tersebut membuat 74% dari total fasilitas produksi di Teluk Meksiko terpaksa dihentikan sementara.

Teluk Meksiko merupakan salah satu kawasan penghasil minyak terbesar di benua Amerika. Saat produksi di kawasan tersebut mulai pulih, artinya pasokan minyak global akan meningkat dalam waktu dekat.

Di sisi lain, harga minyak juga mendapat tekanan dari faktor permintaan.

Kemarin China mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 yang hanya 6,2%. Meskipun sesuai dengan perkiraan konsensus, namun itu menandai laju pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam 27 tahun terakhir.

China yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia sudah tentu akan membawa pengaruh pada negara-negara lain. Perlambatan ekonomi global tampak semakin menyeramkan dan sulit untuk dihentikan.

Permintaan minyak dunia seringkali berberak searah dengan pertumbuhan ekonomi. Kala ekonomi melambat, pertumbuhan permintaan minyak pun berisiko ikut turun.

Kombinasi ekspektasi peningkatan pasokan dan pelemahan permintaan membuat keseimbangan fundamental menjadi timpang. Alhasil harga minyak harus rela terkoreksi.

Hari ini secara mengejutkan Iran membantah kabar rencana negosiasi misil balistik dengan AS. Hal itu sangat bertentangan dengan pernyataan Pompeo sebelumnya.

Pelaku pasar kembali khawatir akan eskalasi konflik AS-Iran. Ternyata Negeri Persia masih panas. Sekali lagi produksi minyak di kawasan Timur Tengah dan keamanan pengiriman melalui Selat Hormuz mendapat ancaman.

Kondisi tersebut memberi fondasi bagi harga minyak untuk menguat hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2xNl1oY
via IFTTT

No comments:

Post a Comment