Pages

Saturday, August 10, 2019

Cetak Rekor Terus, Bagaimana Emas Pekan Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melesat naik di pekan lalu, bahkan kenaikan sudah terjadi sejak minggu sebelumnya akibat eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, plus potensi terjadinya perang mata uang. Akibat lesatan naik tersebut, harga emas Antam di dalam negeri mencatat rekor tertinggi enam hari berturut-turut.

Saking tingginya melesat, harga emas dunia sempat menyentuh level US$ 1.510/troy ons atau menguat sekitar 5,9% berdasarkan data Refinitiv, sebelum akhirnya terkoreksi turun pada Kamis dan Jumat walaupun tidak banyak. Level yang dicapai emas tersebut merupakan yang tertinggi sejak 12 April 2013.

Seiring dengan pergerakan emas dunia tersebut harga emas Antam juga mengakhiri periode cetak rekor di hari Jumat. Tetapi sepertinya tinggal menunggu waktu saja rekor Rp 700.4000/gram yang dicapai pada Rabu (7/8/19) akan dipecahkan, bahkan mungkin di pekan ini.

Emas merupakan aset yang memiliki atribut aset aman (safe haven) serta aset lindung nilai terhadap inflasi. Kedua hal tersebut, dan melihat kondisi pasar global saat ini, peluang terus menguatnya harga emas terbuka cukup lebar dalam jangka pendek hingga jangka panjang. 

Yang pertama sebagai aset safe haven, perang dagang AS-China ditambah dengan potensi currency war menjadi background pendukung penguatan logam mulia. Ketika perang dagang kembali tereskalasi akibat "ulah" Presiden AS Donald Trump yang menaikkan bea impor dari China lagi, Negeri Tiongkok membalas dengan mendepresiasi nilai tukar yuan terhadap dolar AS hingga ke level terlemah lebih dari satu dekade, hal ini memicu kecemasan pelaku pasar akan kemungkinan terjadinya currency war.

Perang dagang dan perang mata uang dikhawatirkan akan memicu resesi, bahkan Depresi Besar (Great Depression) yang terjadi di AS pada tahun 1930an bisa terjadi lagi. Hal itu diungkapkan oleh Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle.

Kyle mengatakan kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930an.

"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post. 


Perang dagang terlihat masih jauh dari kata mereda di pekan ini, Presiden Trump mengatakan AS belum akan membuat kesepakatan dagang, meski China ingin melakukannya, sebagaimana dilaporkan CNBC Internatioal pada Jumat pekan (9/8/19) waktu AS.

Sementara itu penasehat perdagangan Presiden Trump, Peter Navaro, mengatakan AS akan mengambil tindakan keras jika terus mendepresiasi mata uangnya.

"Jelas, mereka (China) memanipulasi mata uangnya dari sudut pandang perdagangan" kata Navaro dalam acara Closing Bell di CNBC International pada Jumat lalu. "Jika mereka terus melakukannya, kita (AS) akan mengambil tindakan keras pada mereka" tegas Navaro.

Sepanjang pekan lalu Pemerintah China "bungkam", bahkan saat tidak ada satupun pernyataan keluar dari pejabat-pejabat terkait saat AS mulai menunjukkan niat baik.

Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan AS siap menerima delegasi China untuk dialog dagang di Washington pada awal September. Tidak hanya itu, AS juga mempertimbangkan untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog membuahkan hasil positif.

Di saat para pejabat Negeri Tiongkok "membisu" Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) justru melemahkan nilai tukar sepanjang pekan, nilai tengah kurs yuan melawan dolar AS yang ditetapkan terakhir sebesar 7,0136/US$ pada Jumat.

Mungkin China sedang menerapkan prinsip "banyak kerja sedikit bicara".

Halaman Selanjutnya >>>

(pap/roy)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2GZTRA5
via IFTTT

No comments:

Post a Comment