Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Keuangan Pertamina Pahala Mansury kepada wartawan seusai menghadiri pelantikan Destry Damayanti sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Gedung Mahkamah Agung, Rabu (7/8/2019).
Dihubungi terpisah, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, pertumbuhan laba tersebut didorong oleh perbaikan biaya.
"Karena adanya penurunan harga minyak mentah/ICP," kata Fajriyah saat dihubungi, Rabu (7/8/2019).
Memang, berdasarkan catatan CNBC Indonesia, selama semester pertama tahun ini, rata-rata ICP tercatat sebesar US$ 63,14 per barel. Jika dibandingkan, pada semester pertama tahun lalu, tercatat lebih tinggi, yakni besaran rata-rata ICP mencapai US$ 66,56 per barel.
Adapun, pada 2018, Pertamina membukukan laba US$ 2,53 miliar atau setara Rp 35,99 triliun. Sedangkan untuk laba semester I-2018, perusahaan migas pelat merah itu tidak menyampaikan kepada publik.
Jika diurutkan sejak 2015, pendapatan Pertamina hanya mencapai US$ 45,24 miliar dengan realisasi laba bersih US$ 1,41 miliar. Tapi kemudian anjlok di tahun 2016 karena pendapatan hanya mencapai US$ 39,81 miliar dengan laba bersih US$ 3,15 miliar.
Akan tetapi pendapatan perseroan kembali merangkak naik di 2017 mencapai US$ 46 miliar, namun laba bersih hanya mencapai US$ 2,41 miliar.
Di sisi lain, Pahala sempat menyebutkan, sepanjang kuartal I-2019, Pertamina memperoleh laba US$ 677 juta atau setara Rp 9,59 triliun. Penyebab utama di balik penurunan itu adalah rata-rata ICP yang tidak sebaik kuartal sebelumnya pula.
"Karena dari sisi sensitivitas yang memengaruhi profitabilitas kami itu dari harga ICP," ujar Pahala ketika itu.
[Gambas:Video CNBC] (miq/miq)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2GOHWoT
via IFTTT
No comments:
Post a Comment