Pages

Saturday, August 17, 2019

Sstt.. Bank Sentral Mulai Lirik Emas, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada tahun 1990-an, emas adalah aset yang tidak dilirik bank sentral. Bahkan harga emas turun ke titik terendahnya senilai US $ 250/ons (Rp 3,5 juta).

Penjualan tersebut memicu Central Bank Gold Agreement 1999 membatasi penjualan kolektif hingga 400 ton/tahun. Bahkan, mereka juga membatasi sewa emas dan mengambil pendekatan disiplin untuk opsi dan emas berjangka. Ini dilakukan guna menstabilkan harga emas dan juga meningkatkan transparansi disekitar penjualan emas bank sentral.


Namun, saat ini sentimen terhadap emas telah mengarah ke yang lain. Bahkan sepertinya, emas telah memperoleh kembali statusnya sebagai aset cadangan yang berharga dan sangat diminati.

Sebagaimana dilansir dari laman World Group Council, seorang mantan pejabat World Bank Isabelle Strauss Khan meyakini hal ini. Bahkan, katanya dalam sebuah tulisan, bank sentral dunia mulai secara konsisten menambah cadangan devisa mereka sejak krisis Asia tahun 1998.

"Dolar adalah aset cadangan yang paling banyak diminati tetapi," tulisnya. "Tapi menurut statistik International Monetary Fund (IMF), emas menempati urutan ketiga, terhitung 11% dari cadangan global,".


Dikatakannya, selama 2018 saja, bank sentral membeli 651 ton emas atau naik 74% dibandingkan dengan tahun 2017. Ini merupakan level tertinggi sejak 1971.

Selama dekade terakhir, bank sentral telah membeli lebih dari 4.300 ton emas, menjadikan total kepemilikan mereka sekitar 34.000 ton hari ini. Tren ini berlanjut pada 2019, dengan pembelian bersih mencapai 90 ton sebelum akhir kuartal pertama.

Khususnya juga, pembelian bank sentral secara geografis beragam. Rusia telah menjadi pembeli emas yang paling berkomitmen, mengakuisisi hampir 275 ton pada 2018, jumlah terbesar yang pernah dibeli dalam satu tahun. China juga telah secara konsisten menambah cadangannya, tetapi banyak dari negara pasar berkembang lainnya telah mengakumulasi emas selama setahun terakhir, dan lebih banyak lagi, termasuk Hongaria, Polandia, Mesir, Kazakhstan dan India.

"Cadangan adalah elemen penting dalam gudang senjata suatu negara, yang dapat memberikan perlindungan terhadap guncangan domestic dan eksternal, juga bertindak sebagai wujud kepercayaan terhadap dunia luar," tulisnya lagi.

Sejumlah hal menjadi alasan. Pertama, meningkatnya ketidakpastian tentang prospek ekonomi dan geo-politik global.

Kedua, nilai intrinsik emas sebagai aset cadangan. Sepuluh tahun setelah krisis 1998, prospek ekonomi makro tetap rapuh dan sulit dibaca.

IMF sebelumnya menegaskan ekonomi global berada pada "saat yang sulit". Ekonomi maju diperkirakan tumbuh hanya 1,8% pada 2019, dan 1,7% pada 2020.

Sementara pertumbuhan di kawasan Euro diperkirakan akan lebih rendah lagi, masing-masing 1,6% dan 1,5%. Pertumbuhan pasar negara berkembang lebih solid (4,4% pada 2019 dan 4,8% pada 2020) tetapi risiko tetap terlihat turun.

Perang dagang antara AS dan China juga masih akan berlanjut. Kisruh Washington dan China telah memberi dampak negatif pada pertumbuhan dan prospek global akan semakin memburuk.

Belum lagi sejumlah masalah di daratan Eropa seperti Brexit serta ekonomi Jerman dan Itali yang melambat. Gejolak di Amerika Latin seperti terancam bangkrutnya Argentina juga menjadi soal lain.

(sef/sef)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2L5e4Gf
via IFTTT

No comments:

Post a Comment