Pages

Tuesday, September 24, 2019

Babak Belur, Eropa Resesi 16 Saham LQ45 Masuk Zona Merah

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terkapar pada perdagangan hari ini (25/9/2019) sering belum kondusifnya situasi politik dalam negeri setelah aksi demo di berbagai wilayah Indonesia kemarin (24/9/2019).

Jika kondisi ini berlangsung hingga akhir perdagangan, maka IHSG akan mencatatkan koreksi 5 hari beruntun.


Pada pukul 10:00 WIB, bursa saham acuan Indonesia membukukan koreksi 0,13% ke level 6.129,85. IHSG bahkan sempat tersungkur menuju level di bawah 6.100 pada titik terendah hari ini.

Sahan-saham yang terdaftar di indeks paling likuid, yakni indeks LQ45, turut berperan dalam menekan kinerja bursa saham Ibu Pertiwi. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) indeks LQ45 terkoreksi 0,37% menjadi 957,93 indeks poin.

Dari 45 saham yang masuk dalam kategori indeks LQ45 sebanyak 16 membukukan pelemahan, di mana PT Indocement Tunggal Prakarsa tercatat anjlok sebesar 4,12% ke level Rp 19.200/unit saham.


Kemudian disusul oleh PT Semen Indonesia Tbk/SMGR yang turun 2,44% ke level p 11.975/unit saham, PT Bank Central Asia Tbk/BBCA melemah 1,43% menjadi Rp 29.300/unit saham, PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), dan PT Astra International Tbk (ASII) yang melemah 0,77% ke level Rp 6.425/unit saham.

Kemarin ratusan ribu mahasiswa menggelar aksi demo untuk menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Ketenagakerjaan. Mahasiswa juga menolak pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Reliance Sekuritas menyebutkan aksi demo mahasiswa yang merupakan terbesar sejak demo mahasiswa tahun 1998 silam menyita perhatikan dan meningkatkan kekhawatiran investor akan kondusifitas aktivitas bisnis di Indonesia.

Lebih lanjut, kecemasan pelaku pasar diperparah oleh kondisi politik global di Amerika Serikat (AS) dan Inggris.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS Nancy Pelosi telah secara resmi mengambil langkah pemakzulan (impeachment) atas Presiden AS Donald Trump karena dituduh menggunakan kekuasaannya untuk mendorong Ukraina menyelidiki keluarga Joe Biden, salah satu rival dalam pemilu presiden AS tahun depan, dilansir dari CNBC International.

"Tindakan Presiden Trump mengungkapkan fakta yang tidak terhormat dari pengkhianatan presiden atas sumpah jabatannya, pengkhianatan terhadap keamanan nasional kita dan pengkhianatan integritas pemilu kita," kata Pelosi dalam sambutannya kepada negara.

Sementara itu dari Negeri Ratu Elizabeth, Mahkamah Agung Inggris telah memutuskan bahwa keputusan Perdana Menteri Boris Johnson untuk menangguhkan parlemen adalah melanggar hukum. Aksi Boris tersebut membuat beberapa anggota parlemen dari partai oposisi memintanya untuk mundur dari jabatan.

Sentimen paling sensitif bagi pasar saham global hari ini adalah terkait potensi resesi di Eropa. Para pengamat sepakat resesi mungkin lebih rentan terjadi di zona Eropa. Resesi adalah kontraksi atau pertumbuhan negatif dalam dua kuartal dalam satu tahun yang sama.

Hal ini setidaknya diutarakan Mario Draghi, pemimpin Bank Sentral Eropa (ECB) yang sebentar lagi akan meninggalkan lembaga moneter itu 1 November nanti. Bahkan, dalam pernyataannya ia menyebut zona Eropa menghadapi "kemelorotan ekonomi" bahkan jauh yang sebelumnya diperkirakan.

Draghi menyatakan hal tersebut setelah menyaksikan pelemahan manufaktur di Jerman. Perlu diketahui, Jerman adalah ekonomi terbesar di Eropa yang menyumbang 17,8% PDB benua itu.

Purchasing managers index (PMI) untuk Eropa jeblok ke 50,4 di September, di bawah perkiraan awal dan PMI September 51,9 di Agustus. Angka 50 menjadi ambang batas PMI, di mana di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas sementara di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau aktivitas yang memburuk.

Namun khusus untuk Jerman, PMI manufaktur turun di September menjadi 41,2 dari bulan lalu 43,5. Ini angka terburuk sejak pertengahan tahun 2009 seiring dengan melemahnya industri pembuatan mobil.

Perang dagang antara AS dan China menjadi penyebab PMI Jerman terpuruk. Perang dagang dua negara penggerak ekonomi dunia itu menyebabkan ketidakpastian global.

Geopolitik yang tidak stabil, seperti isu tidak jelasnya perjanjian perdagangan mendekati keluarnya Inggris dari Eropa (Brexit), Oktober nanti, juga menjadi penyebab. Ini telah menghentikan bank mencapai target inflasi meskipun fakta pengangguran di wilayah tersebut jatuh ke level terendah selama satu dekade.

Brexit pasalnya membuat Inggris kehilangan hak atas istimewa perdagangan dengan negara Eropa. Inggris harus mengikuti aturan WTO dalam perdagangan.

Karenanya kesepakatan baru harus dibuat. Mengingat 10 besar ekspor negara itu, selain AS dan China, didominasi negara-negara Eropa.

Namun sayangnya, kecenderungan saat ini adalah Inggris akan keluar Inggris tanpa kesepakatan (no deal Brexit). Ekonom memprediksi Inggris bisa resesi karena tersendatnya rantai ekonomi.

"Keseimbangan risiko terhadap prospek pertumbuhan tetap miring ke bawah," ujar Draghi di depan parlemen Eropa sebagaimana ditulis The Financial Times.

Menurut ekonom Commerzbak Jerman Ralp Solveen apa yang diungkapkan Draghi mengkonfirmasi resesi. "Tokoh ini mengkonfirmasi satu kasus penting: bahwa tidak akan ada lagi kemajuan untuk ekonomi kita tahun ini. Di sisi lain, risiko dari resesi meningkat," ujarnya.

Hal senada juga dikatakan pemimpin Bank Belanda ING Hans Wijers. "Kami sudah dekat, dekat dengan resesi," kata Wijers sebagaimana dikutip dari CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/dwa)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2mVDJbI
via IFTTT

No comments:

Post a Comment