Pages

Thursday, September 5, 2019

Cerita Turki Resesi dan Erdogan yang Jemawa

Jakarta, CNBC Indonesia - Istilah The Sick Man from Europe dulu pernah diberikan kepada Turki di awal 1920-han. Jatuhnya ekonomi hingga berakhirnya Kerajaan Turki Ottoman merupakan kisah kelam masa lalu negara itu.

Namun kini, sepertinya julukan tersebut pantas diberikan lagi ke Turki. Ya, negara yang terletak di dua benua, Eropa dan Asia ini kini tengah sakit.

Selasa (3/9/2019), Turki resmi kembali ke masa resesi. Dalam ekonomi makro, resesi diartikan sebagai kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun (YoY).


Pada kuartal II 2019, ekonomi negara sufi itu terkontraksi alias minus. Ini melanjutkan pencapaian serupa di kuartal sebelumnya.

Pada Pada periode April-Juni 2019, ekonomi Turki terkontraksi alias negatif 1,5% year-on-year (YoY). Di kuartal sebelumnya, kontraksi ekonomi Turki lebih dalam yaitu minus 2,4% YoY.

Data-data ekonomi Turki tidak meyakinkan. Pada Juli, inflasi di Turki mencapai 16,55% YoY. Lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yaitu 15,72%.

Kemudian angka Purchasing Managers' Index (PMi) manufaktur pada Agustus adalah 48. Sejak April, angka PMI manufaktur Turki tidak pernah menyentuh 50 yang berarti dunia bisnis masih enggan melakukan ekspansi.

Belum lagi mata uang lira yang kalah diterjang dolar AS. Meski lebih baik dibanding tahun lalu yang turun hingga 35,99%, mata uang Lira turun 9% terhadap dolar AS.


Kisruh politik juga memperparah nasib ekonomi Turki. Hubungan yang memanas antara Turki dengan AS pasca memutuskan untuk keluar dari program pengadaan pesawat tempur F-25 made in USA membuat Turki rawan terhadap sanksi.

Namun Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan masih sangat pede dengan pertumbuhan ekonomi. Ia bahkan mengatakan Turki berencana meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 5% pada tahun 2020.

"Saya sudah memberikan tingkatan pada pertumbuhan 2020, kami akan fokus di situ. Kami akan memastikan tingkat pertumbuhan hingga 5%," katanya sebagaimana dilansir CNBC Indonesia dari Reuters Kamis (5/9/2019).

Untuk menopang pertumbuhan ekonomi, Bank Sentral Turki akan memangkas suku bunga. Bahkan di July, bank sentral memangkas suku bunga lebih dari yang diharapkan, yakni 425 basis poin ke level 19,75% untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

"Saya sangat alergi dengan suku bunga. Saya menentang suku bunga yang tinggi," kata Erdogan lagi. "Saya percaya langkah itu, karena pengelola bank sentral telah menunjukkan pemahaman dari masalah tersebut,".

Gubernur bank sentral Turki juga dipecat pada bulan Juli. Menurut Erdogan, gubernur gagal mengikuti instruksi kebijakan pemerintah.

Dia digantikan oleh mantan wakilnya Murat Uysal sebelum keputusan penurunan suku bunga bulan Juli diambil. Bank sentral turki akan mengambil lagi keputusan 12 September mendatang.

Sebelumnya dalam program jangka menengah setahun lalu, Turki memprediksi pertumbuhan ekonomi tumbuh 2,3% di 2019 dan 3,5% di 2020. Bahkan sebelumnya negara ini sempat menargetkan pertumbuhan 5,5% di 2019 dan 2020.

[Gambas:Video CNBC]

(sef/sef)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2POah5D
via IFTTT

No comments:

Post a Comment