Bagaimana tidak, pada saat pembangunan, proyek yang dibangun di atas kemitraan publik-swasta antara China Merchants Port Holdings (HIPG) dan Sri Lanka Ports Authority ini menarik cukup banyak utang dari China.
Hal ini pun memicu kontroversi baik dari dalam negeri, di antara politikus Sri Lanka, hingga dari negara-negara lain.
Mengutip laporan Asian Review, untuk pembangunan pelabuhan yang terletak di sepanjang pantai selatan pulau Samudra Hindia ini memakan dana senilai US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 21 triliun (estimasi kurs Rp 14.000/dolar).
Foto: Reuters
|
Sebanyak US$ 1,1 miliar dana itu berasal dari utang yang diberikan China. Namun, menurut kesepakatan dengan CM Port pada Desember 2017, sebagai imbalan atas utang itu, pemerintah China akan memiliki 85% saham dari pelabuhan dan mengantongi sewa dari pelabuhan itu selama 99 tahun.
Proyek yang dianggap 'menyengsarakan' Sri Lanka ini diresmikan oleh Presiden Mahinda Rajapaksa, yang menjabat dari 2005 hingga 2015. Lawan politik Rajapaksa dalam pemilihan presiden tahun 2015 pun menamai pelabuhan ini, dengan pelabuhan lainnya Port City sebagai proyek yang sia-sia. Pembangunan Port City menelan biaya sebesar US$ 1,4 miliar dan dibangun di atas tanah reklamasi di pantai Kolombia.
Sekarang ini, koalisi oposisi yang berkuasa 'mewarisi' utang tersebut. Mereka harus membayar utang itu kepada China padahal pendapatan devisa Sri Lanka dari ekspor tidak cukup untuk memenuhi kewajiban utang internasionalnya.
Cadangan devisa negara itu mencapai US$ 8,34 miliar pada bulan Juli, tapi pemerintah harus segera memperoleh US$ 17 miliar lagi untuk membayar pinjaman luar negeri yang jatuh tempo dan membayar utang antara tahun 2019 hingga 2023. Menurut Bank Sentral Sri Lanka, sekitar 10% dari sekitar US$ 55 miliar utang luar negeri Sri Lanka dipegang oleh China.
Namun meski begitu polemik, investasi ini cukup membuahkan hasil. Sebelum kesepakatan, pelabuhan kerap kali mencatatkan kerugian dan hanya menerima sedikit kunjungan kapal meski lokasinya strategis di tepi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Diperkirakan ada 36.000 kapal melintas di rute seluas enam mil laut di selatan pantai Sri Lanka.
Namun, pada tahun 2017, sebelum China mengambil alih pelabuhan, hanya 175 kapal barang yang berlabuh di sana. Setelah China mengambil alih pelabuhan, pada akhir 2018 tercatat sudah ada 300 kapal yang membuat janji berlabuh. Hal ini pun berdampak pada meningkatnya jumlah pengiriman mobil yang dikirim melalui Hambantota ke Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan menjadi sebesar 60%.
Sayangnya, sikap China yang turut andil dalam pembangunan pelabuhan ini dan cenderung lebih diuntungkan, telah membuat negara-negara lainnya geram. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Wakil Presiden AS Mike Pence, mengkritik tindakan "diplomasi utang" China yang suka membagikan pinjaman kepada negara-negara miskin ditujukan untuk mendapatkan keuntungan strategis.
Namun, Eksekutif China Ray Ren membantah kritik itu dengan mengatakan bahwa pembangunan pelabuhan itu bertujuan untuk kepentingan semua negara.
"Ini bukan pelabuhan di mana kami hanya akan menyambut investor China," kata Ren, yang adalah kepala eksekutif Grup Pelabuhan Internasional Hambantota, kepada Nikkei Asian Review.
"Kami ingin berada di sini dan menjadi bagian dari pengembangan negara untuk jangka panjang, itu sebabnya kami telah menginvestasikan miliaran dolar di Sri Lanka; kami tidak mencari bisnis jangka pendek," tambahnya.
(dru)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/339rAQT
via IFTTT
No comments:
Post a Comment