Meskipun menang dari sisi skor, tetapi kualitas pasar saham selama sepekan tersebut justru melemah. Pertama dari sisi nilai, di mana koreksi terjadi sebesar 0,72% menjadi 6.207 dari posisi akhir pekan sebelumnya 6.252. Padahal, koreksi hanya terjadi di 2 hari terakhir pekan lalu sehingga kenaikan pada 3 hari pertama hanya tipis-tipis dan langsung dihabisi ketika turun.
Sisi kualitas ketertarikan investor asing juga mencatatkan angka minus, yaitu terjadi aksi jual bersih investor asing (nett foreign sell) sebesar Rp 1,42 triliun di pasar reguler dan Rp 1,73 triliun di seluruh pasar (reguler, negosiasi, dan tunai).
Tampaknya, dewi fortuna belum juga berpihak pada pihak penguatan IHSG selama pekan lalu dan membuat kumulatif peningkatan sejak awal tahun hanya 0,2% dan masih menambah terus aksi nett foreign sell di pasar reguler Rp 19,16 triliun.
Di seluruh pasar, angka aktivitas perdagangan investor asing masih positif Rp 43,36 triliun tetapi relatif lebih tidak mencerminkan transaksi organik karena belum mengecualikan transaksi crossing tutup sendiri dan transaksi besar (block sale) di pasar negosiasi, terutama pada transaksi DBS-Danamon dan Michelin-Multistrada.
Momentum koreksi bertepatan dengan pemangkasan suku bunga acuan Amerika Serikat yaitu Fed Fund Rate pada 31 Oktober, yang sudah diprediksi sebelumnya oleh pasar karena penguatan yang terjadi relatif terjadi beruntun sejak 11 Oktober.
Tanggal 11 Oktober tersebut memang merupakan titik balik dari konflik dagang AS-China, di mana kedua negara akhirnya sudah menemukan kata sepakat dalam perundingan dagang fase pertama. AS akan menghentikan suspensi penaikan tarif sedangkan China akan membeli produk pertanian AS.
Tidak hanya di AS, China, dan di Indonesia, karena kondisi serupa juga membuat pelaku pasar keuangan di negara lain di tingkat global sumringah dan tercermin dari penguatan bursa sahamnya, dan sebaliknya di pasar obligasi negara maju dan berkembang yang kondisinya bertolak belakang dengan pasar saham.
Pergerakan terbalik di pasar saham dan pasar obligasi negara maju dan negara berkembang lumrah terjadi karena peralihan dari satu jenis pasar efek ke pasar efek lain, dalam hal ini pasar saham dan pasar obligasi, relatif lebih mudah terjadi.
Mudahnya proses tersebut disebabkan pasar saham menjadi cerminan optimisme dan harapan sehingga akan menguat ketika pelaku pasar sedang tersenyum, sedangkan pasar obligasi menjadi cerminan dari pesismisme dan kekhawatiran dan justru menguat ketika kecemasan terjadi.
from CNBC Indonesia https://ift.tt/33aE3Us
via IFTTT
No comments:
Post a Comment