Pages

Sunday, August 11, 2019

Dialog Dagang di Washington Batal atau Tidak, Pak Trump?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terkoreksi, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah turun. Sepanjang pekan lalu, IHSG turun 0,91% sementara rupiah melemah tipis 0,07% terhadap greenback. Namun yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun signifikan 23,5 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan. Sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan dunia pekan lalu adalah perang dagang AS-China yang mengarah ke perang mata uang. Setelah AS mengancam akan menerapkan bea masuk baru terhadap impor produk China senilai US$ 300 miliar, China seakan membalas dengan 'memainkan' nilai tukar yuan. Sejak awal pekan lalu, yuan melemah dan menembus level CNY 7/US$. Ini tidak pernah terjadi sejak Maret 2008. Selama seminggu kemarin, yuan melemah 1,77% di hadapan dolar AS. Perang dagang sepertinya sudah naik kelas, bertransformasi menjadi perang mata uang. Jika praktik yang dilakukan China ditiru oleh negara lain demi menggenjot ekspor, maka akan terjadi devaluasi mata uang secara kompetitif.  

Berbagai negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya dengan mengabaikan mekanisme pasar. Ini tentu sangat berbahaya. Tidak heran pelaku pasar memilih bermain aman dan melepas aset-aset berisiko.

 Namun mengapa harga obligasi pemerintah masih mampu naik? Sepertinya ini ada kaitannya dengan kebijakan moneter di berbagai negara. Pekan lalu, ada empat bank sentral yang menurunkan suku bunga acuan yaitu Selandia Baru, India, Thailand, dan Filipina. Tidak hanya di negara-negara tetangga, bahkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan bulan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan 18 September adalah 76,5%. Sementara peluang penurunan 50 bps adalah 23,5%. Situasi ini membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi yang sensitif terhadap suku bunga. Yield obligasi di negara-negara tersebut akan terus turun, sehingga pasar obligasi Indonesia semakin seksi. Saat ini, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun adalah 7,327%. Sementara yield instrumen serupa di India adalah 6,43%, Thailand 1,52%, Filipina 4,465%, dan Selandia Baru 1,11%. Sementara US Treasury Bond tenor 10 tahun punya yield 1,7086%. Jadi, berinvestasi di Indonesia sangat menarik, cuan gede. Tidak hanya cuan, investasi juga aman seiring kenaikan peringkat utang (rating) Indonesia dari Standard and Poor's dari BBB- menjadi BBB yang diberikan pada akhir Mei lalu. 
(BERLANJUT KE HALAMAN 2) (aji/aji)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2H1yizr
via IFTTT

No comments:

Post a Comment